Judul: Bung Tomo, Suamiku
Penulis: Sulistina Soetomo
Penyunting: Titie Said dan Lies Said
Jumlah halaman: 196 halaman
Cetakan: Pertama, 1995
Penerbit: Pustaka Sinar Harapan
ISBN: 978-416-313-9
Orang-orang bisa jadi lebih mengenal Bung Tomo sebagai salah seorang revolusioner Indonesia di masa perang kemerdekaan. Namun, pernahkah dalam diri kita terbersit pertanyaan tentang bagaimana sisi lain kehidupan pejuang kelahiran Surabaya, 3 Oktober 1920 ini? Lewat buku Bung Tomo Suamiku, saya dihadapkan dengan segala hal terkait kehidupan sehari-hari seorang revolusioner yang terkenal karena pidatonya yang menggelora pada 10 November 1945 tersebut.
Buku biografi ini berjodoh dengan saya di sebuah stand buku lawas di area pameran Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) ke 23, Benteng Vredeburg, sekitar pertengahan tahun 2011. Sampulnya yang khas tempo dulu—Bung Tomo lengkap dengan peci dan pin bantengnya—memikat hati saya. Dari situlah, saya memutuskan untuk membawa pulang buku ini.
Untuk sekelas buku biografi, buku ini termasuk tipis, tetapi sarat dengan makna dan gumulan emosi serta semangat. Pada halaman awal, saya seperti diajak menilik kembali sejarah perjuangan Indonesia versi para pelakunya, lengkap dengan bagaimana proses pedekate-nya para pejuang. Berkawan dengan mesiu dan suara desing peluru, Bung Tomo menemukan calon istrinya, Sulistina—yang akrab ia sapa, Jeng Lies. Mereka sama-sama berjuang dan memulai kisah cintanya di medan pertempuran. Romantisme semacam ini tentu tak bisa lagi ditemui di Indonesia zaman sekarang. Tidak ada istilah PHP (penebar harapan palsu) atau janji semu semata. Seperti yang diucapkan oleh Bung Tomo,
“Kalau ada musuh yang siap menembak, dan yang akan ditembak masih pikir-pikir dulu, itu kelamaan. Aku dikenal sebagai seorang pemimpin yang baik dan aku adalah seorang pandu yang suci dalam perkataan dan perbuatan. Pasti aku tidak akan mengecewakanmu. Kalau Bung Tomo berjanji kepada calon isterinya bahwa dia tak akan mengecewakan isterinya dan dia akan menyintainya sampai akhir hayatnya. Janji itu pasti akan kutepati. Seorang pejuang tidak akan mengingkari janjinya. Aku mencintaimu sepenuh hatiku, aku ingin menikahimu kalau Indonesia sudah merdeka. Aku akan membahagiakanmu dan tidak akan mengecewakanmu seumur hidupku.” (halaman 28).
Kutipan yang saya cetak tebal di atas adalah salah satu favorit saya. Seperti itulah semestinya seorang pria; memperjuangkan janji dengan segenap hati. 🙂
Selain itu, peristiwa-peristiwa yang dulu lebih banyak saya ketahui lewat buku-buku sejarah, bisa saya lihat dari sudut pandang yang lebih pribadi di bab selanjutnya. Lewat pemaparan sang istri, Sulistina; romantika perjuangan dan kehidupan pribadi Bung Tomo terungkap. Seperti apa prinsip hidupnya; keteguhannya dalam membantu rakyat kecil; lika-likunya di dunia pemerintahan dan tahanan; hingga kisah-kisah menyentuh hati menjelang akhir hayatnya tahun 1981. Semua terangkum lengkap dalam buku ini.
Meski dalam penyempurnaan cetakan pertama masih terdapat beberapa salah ketik; menurut saya, hal itu tidak mengurangi nilai sejarah yang terkandung di dalamnya. Saya pikir, dengan sentuhan revisi, buku ini memiliki potensi dan akan mendapatkan tempat di hati para pecinta sejarah perjuangan Indonesia.
Catatan:
Tahun 2008, tiga belas tahun berlalu dari cetakan pertama, buku dengan judul serupa pernah diterbitkan oleh penerbit Visi Media Pustaka.